3 Faktor Puan Maharani Dalam Perjuangan Panjang untuk Mencapai Emansipasi Wanita

Senin, 25 April 2022 03:07 WIB
Reporter : Redaksi

 

 

Abdirakyat.com – Kita masih berada dalam euforia Hari Kartini, yang diperingati tiap tanggal 21 April yang mempunyai arti penting untuk wanita Indonesia.

Kartini ialah lambang perjuangan, kemampuan perubahan dan emansipasi wanita Indonesia.

Oleh karena itu, emansipasi memiliki arti bahwa pembebasan dari perbudakan dan kesamaan hak dalam beragam faktor kehidupan warga.

Emansipasi wanita mempunyai tujuan, yaitu memberikan wanita peluang bekerja, belajar, dan berkreasi, seperti hal nya seorang lelaki.

Selain itu, emansipasi juga memiliki arti memperoleh penghargaan yang seharusnya diterima wanita.

Peringatan hari Kartini yang besar diawali pada 21 April 1947 dan itu identik dengan semangat emansipasi.

Perayaan ini diartikan sebagai semangat pembebasan wanita dari belenggu domestikasi dan semangat perjuangan akan kesetaraan peranan (sosial dan politik) dalam mekanisme dan lembaga sosial.

Sudah cukup lama arti emansipasi ini ada dalam status quo.

Kita banyak mendengar kasus kekerasan pada wanita, rendahnya keterwakilan wanita di parlemen dan kita banyak juga menyaksikan sendiri beragam imbas keadaan ekonomi politik, terhitung peraturan malah semakin merepotkan akses keterjangkauan golongan wanita.

Kembali lagi keadaan ini membuat golongan wanita tidak punyai daya tawar yang kuat dan jadi barisan yang paling rawan akan imbas ketidakadilan.

Tahun ini semua status quo ini menguap sesaat karena ditetapkannya UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), sembilan hari saat sebelum peringatan momen hari emansipasi wanita.

Dalam hal ini, ada beberapa argumen, kenapa peristiwa peringatan Hari Kartini kali ini terasa berbeda.

Saya akan merangkum beberapa di antaranya alasan-alasan itu dalam tiga faktor utama yang juga menjadi refleksi terhadap perjuangan panjang mencapai emansipasi.

1. Faktor Puan Maharani.

Tak dipungkiri, bahwa salah satu kemajuan dukungan kebijakan yang melindungi perempuan keberadaan Puan Maharani, di kursi Ketua DPR-RI.

Gagasan Pembentukan UU TPKS juga dimulai dari keprihatinan Puan Maharani, karena kasus pemerkosaan yang menewaskan seorang anak perempuan.

Pembentukan UU TPKS, hampir satu dekade terombang-ambing tak menentu. Sampai di tangan Puan Maharani, tuntutan pengesahan UU TPKS ini mendapatkan jawabannya.

2. Faktor Komitmen Kelompok Masyarakat Sipil.

Ada lebih dari 100 kelompok masyarakat sipil yang mengawal pengesahan UU ini. Karena UU TPKS, merupakan model kebijakan pembentukan UU yang inklusif dengan kelompok sipil masyarakat.

Sebab, ia bagai oase di tengah keringnya keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan.

3. Faktor Keadilan.

Salah satu wacana besar yang muncul dengan lahirnya UU TPKS, ini adalah aspek keadilan yang hadir kembali dan menjadi angin segar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kita sudah terlalu lama melihat ketimpangan dalam relasi sosial masyarakat. Selain ketimpangan dalam relasi ekonomi dan politik, ketimpangan lain yang besar jurangnya adalah ketimpangan dalam perspektif gender.

Peran perempuan, tubuh perempuan, pikiran perempuan dan kehadiran perempuan setidaknya mulai terbuka dalam diskursus di ruang publik.

Namun, tinggal bagaimana untuk membangun kesadaran yang berkelanjutan akan peran perempuan yang lebih setara pada masa yang akan datang.

Selamat merayakan kemeriahan Hari Kartini! Kita tentu tidak akan berhenti berjuang menuju masyarakat yang emansipatoris. (red)

( Sumber: Laurent) 

Berita Terkait

bannera
iklan-besar-fix

Berita Terpopuler

Berita Teknologi

Berita Politik

bannera

Berita Ekonomi